Wonderful NTT (Part 2)

I'm going to continue my story about NTT, guys!
.
.
Setelah menjelajahi Kampung Adat Bena, saya melanjutkan perjalanan menuju Kota Ruteng, perjalanan ini ditempuh selama 4 jam dengan kondisi jalan beraspal namun tetap berkelok-kelok.
Di hari ke-3 saya mulai untuk mengeksplor Kota Ruteng. Pada hari itu, saya pergi menuju Rumah Adat Todo, yang letaknya berada di Desa Todo, Satarmese Barat, Manggarai. Perjalanan menuju rumah adat ini lumayan jauh dari kota. Perjalanan ditempuh dalam 2,5 jam menggunakan mobil. Sebelum memulai perjalanan, saya menyiapkan perbekalan untuk di jalan. Setelah mencari informasi, ternyata di Kota Ruteng terdapat camilan yang sangat khas, namanya kompyang. Kompyang adalah roti tanpa isi yang bentuknya bulat. Oleh karena itu saya memutuskan untuk pergi ke toko dimana kompyang ini dibuat. Setelah sampai di toko tersebut, ternyata sudah banyak orang yang mengantri kompyang, mereka membeli dalam jumlah yang cukup besar (50 biji-100 biji). Karena banyaknya pesanan tersebut, terpaksa saya pun harus menunggu kompyang yang sedang dalam proses pembuatan. Setelah menunggu 10 menit, kompyang saya pun jadi. Kompyang ini dijual dengan harga Rp. 1000,- per biji. Karena kompyang yang saya dapat baru keluar dari oven, saya langsung segera memakannya, rasanya gurih dan ngangeni. Walaupun tanpa isi, kompyang ini tetap enak untuk dimakan dan cocok dijadikan cemilan, apalagi dicampur teh/kopi.
Kompyang
 Jalan yang harus saya lalui dalam perjalanan menuju Kampung Todo sangat kecil, dan tidak seluruhnya beraspal. Dalam perjalanan pun saya berulang kali tanya pada warga.Setelah perjalanan yang cukup lama, akhirnya saya sampai di Kampung Todo, di sana para wisatawan disambut baik, dan diwajibkan untuk mengisi buku tamu. Seusai mengisi buku tamu, para wisatawan yang berkunjung diharuskan menggunakan kain adat dan mengikuti salah satu warga yang akan menjelaskan segala sesuatu mengenai Kampung Todo. Salah satu warga tersebut bernama Rizky, dia menjadi guide saya selama mengelilingi Kampung Todo. Dia menjelaskan banyak hal mengenai Kampung Todo, mulai dari arti bentuk rumah adat, barang-barang peninggalan, proses upacara adat yang dilakukan, serta tarian khas yang biasa dilakukan di sana (Tari Caci).
Di Kampung Todo, beberapa warga juga menenun kain adat yang kemudian dijual bagi para wisatawan. Setelah berkeliling selama 1 jam , hari mulai sore , dan cuaca di sana mulai mendung , kabut mullai turun. Oleh karena itu, saya bergegas mengambil beberapa foto dan kembali ke Kota Ruteng.
Rumah Adat Todo

Di hari ke-4, saya kembali mengeksplor Kota Ruteng. Setelah browsing, saya menemukan tempat yang bernama Lingko Cara, yaitu sawah laba-laba. Kenapa disebut begitu? Sawah tersebut disebut laba-laba karena bentuknya menyerupai sarang laba-laba jika dilihat dari atas. Berbekal info dari internet, saya bergegas menuju Lingko Cara. Jalanan menuju Lingko Cara sudah bagus dan beraspal, namun untuk melihat Lingko Cara secara langsung. Mobil harus diparkir di pinggir jalan di Desa Cara, daerah Cancar, sekitar 12 km ke arah barat Ruteng. Setelah itu para wisatawan berjalan kaki melewati untuk sampai di sebuah rumah warga, untuk mengisi buku tamu. Setelah selesai mengisi buku tamu, saya diantar oleh anak-anak kecil penduduk sana untuk melihat Lingko Cara. Saya harus berjalan kaki melewati bukit selama kurang lebih 15 menit. Sesampainya di sana, saya dapat melihat sawah laba-laba dari atas bukit.Walaupun sedikit kecewa, karena saat saya di sana bukan saat musim tanam, sehingga sawahnya tidak terlihat menghijau, namun saya menikmati perjalanan ini. Saya juga senang dengan keramahan anak-anak penduduk di sana yang ikut mengantar saya menuju Lingko Cara.
Lingko Cara

Hari sudah mulai siang dan saya segera melanjutkan perjalanan menuju tempat berikutnya, yaitu Gua Liang Bua. Dimana gua ini merupakan tempat ditemukannya fosil Homo floresiensis. Namun, karena kondisi jalan yang tidak memungkinkan (jalanan berbatu-batu dan susah untuk dilalui), saya memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke Guang Liang Bua. Untuk memanfaatkan waktu yang ada, saya menuju Kampung Adat Pu'u. Kampung ini letaknya tidak jauh dari Kota Ruteng. Akses menuju kampung ini juga tidak sulit.
Di kampung ini saya melihat banyak anak-anak kecil yang bermain-main menikmati suasana kampung. Ada yang bersepeda, ada yang berlari-lari, ada juga yang mengikuti saya berkeliling kampung. Sungguh membahagiakan bisa melihat anak-anak di sana bermain dengan gembira.

Rumah Adat di Kampung Pu'u
Dalam perjalanan pulang, saya melihat sebuah bangunan yang juga terkenal di Kota Ruteng. Bangunan ini adalah Gereja Katedral Ruteng.
Gereja Katedral Ruteng
Selain itu, saya juga melihat Rumah Adat Wunut yang letaknya berada di tengah Kota Ruteng.
Rumah Adat Wunut

Sore harinya, sebelum matahari terbenam, saya menikmati keindahan Kota Ruteng dengan bersepeda mengelilingi sekelumit Kota Ruteng. Sambil berkeliling, saya mengambil beberapa gambar dari tempat-tempat yang saya lalui selama bersepeda, salah satunya adalah Kantor Bupati Manggarai ini.
Kantor Bupati Manggarai

Suhu udara di Kota Ruteng sangat dingin, saat saya berada di sana, suhu udara mencapai 15 derajat Celcius. Di Kota Ruteng akan banyak ditemui rumah-rumah warga yang menggunakan panel surya sebagai sumber energi. Selain itu, mencari bensin di daerah NTT cukup susah juga lho, di Kota Ruteng saja, hanya ada 3 SPBU yang saya temui setelah berkeliling. (to be continued)




































No comments:

Post a Comment